Jenny Oematan : Ketika Pendidikan Dijadikan Lahan Bisnis

Oleh: Jenny Yutje Oematan, S.Hut, M.Si

That’s Why “ketahuilah apa yang anda tahu di apa yang anda tidak tahu”

Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), jelas diperlukan pemimpin yang berpendidikan, cerdas, bermutu dan tentunya mempunyai karakter untuk membangun segala sesuatu ke arah yang lebih baik. Mutu merupakan salah satu hal yang krusial (penting) dalam pendidikan, begitu juga dengan karakter yang merupakan suatu landasan utama dalam mencapai mutu pendidikan itu sendiri. Tanpa pendidikan, tentu seseorang tidak dapat menciptakan pembangunan, oleh karena itu pendidikan sangatlah perlu untuk dijunjung “long life education”.

Nusa Tenggara Timur, terkhususnya Kabupaten Timor Tengah Selatan sendiri sudah terdapat beberapa perguruan tinggi swasta. Artinya, bisa dilihat bahwa terciptanya suatu lembaga pendidikan, karena tingginya minat dan kebutuhan akan pendidikan itu sendiri. Semakin meningkatnya kebutuhan akan pendidikan, membuat lembaga-lembaga pendidikan di Kabupaten TTS terus bersaing untuk mengeksplorasi tenaga pendidik yang berkompeten dibidangnya. Pendidikan merupakan investasi yang penting dalam menentukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), hal ini dipertegas dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional(Sisdiknas). Pada pasal 2 menjelaskan bahwa, Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Meskipun gerakan reformasi telah bergulir, tapi persoalan pendidikan belum mampu juga menunjukan peningkatan. Selain terbatasnya sarana dan prasarana serta kurang profesionalnya manajemen pendidikan menyebabkan kita harus mencermati pendidikan secara mendalam, lebih khususnya lagi dalam peningkatan mutu pendidikan. Yang terjadi saat ini, pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang dicapai hanya untuk prestise semata. Mengapa? Karena cara pandang manusia itu sendiri berbanding terbalik dari apa yang seharusnya dicapai dalam sebuah lembaga pendidikan.

Mutu atau kualitas adalah tingkat baik buruknya dan derajat atau layak tidaknya sesuatu. Tentu ada kaitannya dengan pendidikan sekarang ini. Ibaratnya, ketika membeli suatu barang, entah murah atau mahal tetap kualitaslah yang diutamakan. Murah bukan berarti tidak bermutu atau tidak berkualitas karena, mahal pun tidak menjamin akan mutu dan kualitasnya. Sama halnya dengan pendidikan di TTS, tidak banyak tapi tidak sedikit juga orang yang salah mengartikan pendidikan. Oknum pendidik yang seharusnya menjadi tauladan malah memanfaatkan lembaga pendidikan sebagai ladang mengais rupiah, pendidikan hanya dijadikan lahan investasi untuk mendatangkan keuntungan bagi segelintir orang, tidak heran banyak yang menjadi korban.

Berbicara mengenai “korban” berarti ada juga “pelaku”. Dalam menjual suatu produk tentu yang ada dalam pikiran si penjual adalah “keuntungan”. Pelaku, tidak akan memikirkan kualitas atau mutu tapi bagaimana caranya untuk memperoleh keuntungan meski dengan cara yang tidak benar atau bahkan beresiko untuk dirinya sendiri. Artinya  jika tidak  ingin menjadi korban, sebelum bertindak maka hal pertama yang perlu kita ketahui adalah mutu atau kualitas dari suatu produk yang hendak kita beli. Produsen dan konsumen sama-sama ingin memperoleh keuntungan, produsen mendaptkan keuntungan dari apa yang dijual, sementara konsumen mendaptakan kepuasan dari yang dibelinya.

Kalau diperhatikan, sekarang ini bisnis pendidikan masih subur dan menjamur, dengan menu penjualan yang berfariasi. Namun siapa yang peduli? Tidak ada. Apalagi kini yang terjadi adalah liberalisasi pendidikan. Siapa saja boleh mendirikan dan mengadakan pendidikan. TTS sekarang ini, seperti yang mana pada beberapa waktu yang lalu, telah menjadi topik perbincangan dan polemik dimedia sosial (facebook), ada oknum yang mendirikan sebuah lembaga pendidikan tanpa melalui suatu prosedur atau syarat utama berdirinya sebuah lembaga pendidikan. Dan inilah moment untuk berbisnis bidang pendidikan. Bisnis pendidikan sebagai profit oriental “MENCARI KEUNTUNGAN”. Benar tidaknya, ini daerah abu-abu dan sudah terjadi. Pemerintah jelas kecolongan atau tidak peduli membuka kran kebebasan bagi pendirian sekolah atau universitas. Oleh sebab itu, hal penting yang perlu diperhatikan ilalah apa tujuan dan motivasi kita untuk terjun ke sebuah lembaga pendidikan ataukah hanya untuk memperoleh gelar semata?.

Tanggung jawab pendidikan jelas ditangan negara dan juga pemerintah daerah. Pemerintah daerah seharusnya turut andil dan tegas dalam membantu memantau terselenggaranya setiap aktifitas pendidikan. Oleh karena ketidakmampuan negara mengelola pendidikan, akhirnya sekolah diserahkan kepada pihak swasta. Orang pun lebih mudah menghitung jumlah lembaga pendidikan negeri daripada swasta, karena yang terjadi sekarang adalah pasar pendidikan dan persaingan tak sehat diantara lembaga-lembaga pendidikan swasta. Ada lembaga pendidikan swasta yang laris dan ada juga yang kurang laku dan akhirnya gulung tikar. Namun, bisnis pendidikan terus berlangsung, patah tumbuh hilang berganti.

Menawarkan sekolah tak berbeda dengan menawarkan produk makanan. Lalu kemana larinya keuntungan bisnis pendidikan ini? Dalam hal ini pihak pemerintah tak mempertimbangkan jumlah sekolah dengan jumlah usia sekolah diwilayahnya. Akibat tak berimbangnya kebutuhan dengan penyediaan sekolah “rebutan” sekolah selalu terjadi sehingga permainan uang pun menjadi wajar. Karena penawaran yang menggiurkan, maka tidak sedikit peserta didik terprofokasi untuk mengikuti wisuda dilembaga pendidikan abal-abal yang tidak mengantongi surat ijin operasional dan tidak sesuai dengan standar sebuah lembaga pendidikan tinggi swasta. Jelasnya, disini peran pemerintah diharapkan aktif untuk turut menindak lanjuti segala persoalan menyangkut bisnis pendidikan yang mengorbankan masa depan anak-anak daerah. Pendidikan adalah kebutuhan kolektif karena menentukan hari depan hidup bersama. Sangatlah aneh apabila pendidikan mendatangkan penderitaan kolektif. Bukankah mereka yang tak terdidik akhirnya akan menjadi masalah bagi yang terdidik? Mari kita renungkan bersama.

Bisnis pendidikan adalah bisnis kepercayaan, maka sekalinya dipercaya image itu akan melekat pada lembaganya. Tidak perlu mencari, tapi orang-orang dengan sendirinya akan berbondong-bondong mencari lembaga seperti itu. That’s why? Karena lembaga pendidikan yang mempunyai mutu dan kualitas akan melahirkan manusia-manusia yang berkarakter. Hebat benar mereka yang berpendidikana yang bisa mendidik serta menginspirasi banyak orang dan tentu saja ilmunya akan selalu dikenang menjadi titik awal perubahan. Berani bermimpi, berani berubah dan berani mencoba adalah hal-hal yang abstrak dan mengawang-ngawang, ini menunjukan bahwa pendidikan dan karakter itu sangat penting dalam melahirkan manusia indonesia yang berkarakter.

Jhon luther pernah mengungkapkan: “karakter yang baik, lebih patut dipuji daripda bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit, dengan pikiran, pilihan, kebenaran dan usaha keras”.

Karakter atau pembiasaan  perbuatan baik hingga menjadi karakter baik mesti dilakukan sejak dini agar tertanam kuat. Kita dapat memahami alasan orang dewasa yang mengetahui perbuatan baik atau buruk, tetapi tidak konsisten dengan perilakunya. Hal ini diakibatkan karena otot-otot karakternya yang lemah dan tidak berfungsi, sebab tidak pernah dipakai atau dilatih. Misalnya, semua orang tahu bahwa menyebar asap rokok disembarang tempat dan membuang sampah sebebasnya tanpa memperdulikan kepentingan atau kesehatan orang lain bahkan dirinya sendiri. Kalau perilaku semacam ini terus menerus dilakukan sejak dini, maka akan menjadi karakter bawaan yang sangat sulit dihilangkan pada diri pelakunya disaat dewasa atau tua kelak.

Dalam konteks keluarga, dalam dunia pendidikan, kita sebagai orang tua dan guru bahkan dosen, harus menyadari bahwa dengan memberikan nasihat moral saja tidak cukup. Kita mesti melatih anak kita, baik anak sendiri atau anak didik, sejak  dini agar terbiasa dengan perbuatan baik. Perbuatan baik harus diwujudkan dalam perilaku dan kehdupan sehari-hari. Bukan saja dirumah dan diluar rumah, tapi juga disekolah atau dikampus tempat anak-anak atau adik-adik kita belajar mengais ilmu pengetahuan.

Sekedar contoh, orang yang terbiasa berkata jujur, apabila dihadapkan dengan situasi yang menggiringnya untuk berkata tidak jujur, akan timbul rasa kwatir dan malu sehingga ia tidak akan berani berkata tidak jujur. Tetapi sebaliknya, kalau ia sudah terbiasa berbohong bahkan suka bermain mata dengan kehidupannya (pragmatis), maka akan sangat mudah baginya untuk melakukan kebohongannya. Tak ada cara lain, membentuk karakter manusia yang unggul atau pembentukan manusia berkarakter diantaranya melibatkan aspek knowing (mengetahui), acting (melatih dan membiasakan diri) serta feeling (perasaan), dengan begitu upaya ini akan melahirkan manusia-manusia pecinta sekaligus pelaku kebaikan.

Waktu atau kesempatan masih bersama kita, itu pertanda proyeksi atau agenda untuk melahirkan manusia berkarakter masih mungkin kita lakukan. Tentu bukan saja untuk anak kita (dirumah) dan anak didik kita (disekolah dan dikampus), tapi juga diri kita sendiri diseluruh lingkup kehidupan kita; baik dirumah, sekolah, kampus, maupun dilingkungan masyarakat luas, lebih khususnya dikabupaten TTS tercinta. Salam!!

(isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi Viral Kupang)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siswa SD hamili Siswi SMP yang baru lulus, katanya bukan pertama kali "gituan" .

Inilah Sosok Remaja Penari Erotis Asal Kupang Viral Yang Buat Geram Warga Kupang

Pabrik Es Minerva Kota Kupang, Hasil Karya Desain Presiden Soekarno?